(Alm. Prof. DR. B.J. Habibie pernah mengatakan: " Anda tidak bisa yakinkan satu orang bodoh dengan 30 fakta kebenaran. Tapi sebaliknya, 30 orang pintar, kita dapat yakinkan mereka hanya dengan satu fakta kebenaran")
Papua, TOLITV-NEWS.COM Sesuai referensi judul artikel dan pernyataan alm B.J. Habibie, saya mengajukan tiga pertanyaan kapada para pembaca yang mulia dan terhormat.
1. Apakah Anda berpendirian seperti satu orang bodoh yang tidak bisa percaya dan terima 30 fakta kebenaran atau Anda termasuk dalam jajaran 30 orang terpelajar yang dapat menerima alasan dengan satu fakta kebenaran?
2. Apakah benar PAPUA BUKAN WILAYAH INDONESIA KARENA WILAYAH PAPUA DIRAMPOK DENGAN KEKERASAN SENJATA PADA 1 MEI 1963 DAN PEPERA 1969?
3. Apakah para pembaca berdiri dengan nilai kemanusiaan yang utuh atau berada dalam kehilangan sebagian kemanusiaan dan sebagian hidup sebagai manusia dan sebagian sebagai binatang?
Bagi mereka sebagai manusia yang utuh akan mengakaui bahwa Papua bukan bagian dari wilayah Indonesia, sebab sejarah membuktikan bahwa Indonesia secara ilegal menduduki dan menjajah serta memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Sementara bagi mereka yang telah kehilangan sebagian kemanusiaan mereka dan hidup sebagian manusia dan separuh hidup seperti binatang selalu bertahan dan mengatakan bahwa Papua bagian sah dari wilayah Indonesia dan NKRI harga mati di Papua atau Papua sudah final dalam NKRI.
Dari tiga pertanyaan ini menjadi tantangan iman, moral, pilihan etis, keputusan hati nurani dan pertanggungjawan kualitas keilmuan serta ukuran kemanusiaan kita masing-masing.
Di bawah ini fakta kebenaran sejarah Pepera 1969 yang penuh darah air mata, tidak demokratis yang dimenangkan ABRI karena kekerasan senjata menjadi pilihan sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan Pepera 1969.
Saya berusaha untuk menyatakan melalui tulisan, bahwa rakyat dan bangsa Papua berada dalam pendudukkan dan penjajahan bangsa kolonial modern Indonesia. Karena itu, saya mengajak para pembaca sadar, bangkit, bersatu dan melawan untuk masa depan yang lebih damai dan bermartabat di atas Tanah leluhur bangsa Papua dengan cara-cara bermartabat, yaitu menulis artikel tentang ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran berat HAM yang berlangsung 61 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Tulisan artikel ini bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan Rakyat dan Bangsa Papua menggugat dan menolak Indonesia dari TANAH Papua, karena Indonesia menduduki dan menjajah secara ILEGAL dan juga LEGITIMASI PALSU."
"Saya selalu percaya, kita ini mampu urus sendiri sebagai sebuah bangsa. Tapi, bangsa Indonesia membuat kita seperti manusia tidak punya martabat dan harga diri. Kita harus berjuang demi martabat kemanusiaan dan harga diri bangsa kita." (Pdt. Dr. Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua, Senin, 21 Februari 2022).
Para pembaca yang mulia dan terhormat. "TULISAN ini, saya abadikan dengan bolpen tulang belulang, tintanya air mata dan darah serta penderitaan bangsaku, orang asli Papua di atas TANAH leluhur kami."
"Seluruh penderitaan orang asli Papua sejak 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 sampai sekarang yang ditulis dengan tinta akan terhapus, tapi saya menulis penderitaan bangsa saya ini semua dengan bolpen tulang belulang, tinta air mata dan darah di atas TANAH ini."
"Kalau saya tidak menjadi bolpen untuk menulis penderitaan bangsaku, saya cukup menjadi alas penghapus di tangan TUHAN untuk menghapus tetesan air mata di pipi mereka dan darah dari tubuh mereka."
"MUNGKIN, bagi orang gila, tidak normal, sakit jiwa, kehilangan sebagian kemanusiaannya dan separuh manusia dan separuh binatang, telinga tuli, mata buta dan lumpuh hati nurani mereka yang selalu mengatakan: TANAH Papua bagian sah wilayah Indonesia. Itu bagi mereka yang memiliki watak KEDUNGUAN dan KEBINATANGAN yang selalu berdiri dan bepegang pada KEBODOHAN pemikiran dan KEPALSUAN hidup di planet ini. Dan orang-orang ini juga selalu mengatakan di TANAH Papua tidak ada pelanggaran berat HAM dan tidak ada pemusnahan etnis orang asli Papua. Hanya orang buta matanya dan tuli telinga yang mengatakan OAP di TANAH Papua itu aman-aman saja. Dan juga hanya bagi orang hati nurani lumpuh yang mengatakan OAP di TANAH mereka baik-baik saja."
Pdt. DR. Phil Karel Erari dalam bukunya berjudul: Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru menulis:
"Bagi gereja dan bangsa Papua, kehadirannya dalam konteks NKRI, diwarnai oleh konflik dan masalah. Papua oleh banyak pengamat disebut provinsi bermasalah, mungkin karena awal kehadirannya "ILEGAL", sehingga semua kebijakan selanjutnya penuh dengan masalah dan sebagiannya ILEGAL, atau bertentangan dengan hukum dan keadilan."
"...Fenomena historis itu, memperlihatkan adanya suatu gerakan perlawanan rakyat terhadap keridakadilan sejarah, ketidakadilan hukum dan pelanggaran HAM yang parah. ...Mereka menggugat Act of Free Choice, sebagai peristiwa pelanggaran HAM terbesar, dan menjadi akar semua persoalan di Papua." ( 2006:192, 193).
Ilegal dan legitimasi palsu karena beberapa alasan yang fundamental sebagai fakta atau bukti kebenaran sejarah sebagai berikut:
1. PERJANJIAN-PERJANJIAN
Ada dua perjanjian ilegal dan tanpa dilibatkan orang asli Papua, pemilik TANAH Papua, yaitu;
a. Perjanjian New York 15 Agustus 1962
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 Pasal itu tidak pernah dilibatkan Orang Asli Papua. Perjanjian itu secara ilegal dibuat dan ditandatangani oleh bangsa asing, yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika yang dimediasi PBB. Ini perjanjian ilegal dan perjanjian untuk perampokan dan pemusnahan orang asli Papua. Perjanjian ini kejahatan dan ketidakadilan yang mengorbankan nasib rakyat dan bangsa Papua.
New York Agreement 15 Agustus 1962 saya sebut perjanjian PALSU oleh bangsa-bangsa asing yang berwatak rasis, fasis, perampok, pencuri, pembohong dan pembunuh. NYA itu kepentingan politik dan ekonomi Amerika dan Indonesia dan tidak ada satu pasalpun yang berbicara nasib dan masa depan rakyat dan bangsa Papua.
b. Perjanjian Roma 30 September 1962
Dalam Perjanjian ini, Indonesia diberikan waktu hanya 25 tahun berada di TANAH Papua sejak 1 Mei 1963 sampai 1988. Tapi, Indonesia melanggar perjanjian ini.
Isi Perjanjian 30 September 1962 sebagai berikut:
1. Penundaan atau bahkan pembatalan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969.
2. Indonesia menduduki Papua Barat selama 25 tahun terhitung 1 Mei 1963 (sampai tahun 1988).
3. Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 adalah dengan sistem lokal Indonesia "musyawarah" untuk "mufakat."
4. Laporan akhir tentang hasil-hasil pelaksanaan Plebisit tahun 1969 kepada Sidang Umum PBB agar diterima tanpa sanggahan terbuka.
5. Pihak Amerika Serikat bertangungjawab menanamkan modalnya pada sejumlah BUMN di bidang eksploitasi SDA Papua Barat.
6. Amerika Serikat menunjang Pembangunan Papua Barat selama 25 tahun melalui jaminan kepada Bank Pembangunan Asia sebesar USD 30 Juta.
7. Amerika Serikat menjamin pendanaan Program Transmigrasi Indonesia ke Papua Barat melalui Bank Dunia.
2. 19 DESEMBER 1961
Tanggal 19 Desember 1961 ialah hari ANEKSASI dan INVANSI militer dan hari awal MALAPETAKAN bagi rakyat dan bangsa Papua di TANAH Papua.
Ada simbol-simbol atau lambang-lambang bangsa dan Negara Papua. Ada wilayah, ada rakyat, ada bendera Bintang Kejora, ada lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua; ada mata uang Gulden; ada lambang Negara burung Mambruk, ada Parlemen.
Kemerdekaan ini dianekasi dengan agresi dan invansi militer melalui Maklumat Tiga Komando Rakyat (Trikora), dan salah satu butir penting yang diakui oleh Ir. Sukarno di alun-alun Yogjakata pada 19 Desember 1961 sebagai berikut:
"Bubarkan Negara Papua Buatan Belanda Itu."
Dalam maklumat Trikora itu, Ir. Sukarno tidak pernah sebut kata: "Boneka".
Sejarah mencatat bahwa 1 Desember 1961 benar-benar ada, karena ada para pelaku sejarah pendirian Negara Papua, seperti Ir. Sukarno dan kawan-kawan juga pendiri Negara Indonesia.
Nama-nama yang tertulis abadi dalam sejarah rakyat dan bangsa Papua, sebagai berikut:
W.Inury, D. Sarwom, F. Poana, A.Onim, F.J.S. Rumainum, E. Etaar, M. Suwae, J.S. Dekeniap, S.L. Rumadas, T.S. Akwan, H. Jomungga, M. Buotabui, F.Torey, M.W. Kaisepo, J.J. Roembiak, J.Jaap, M.Ongge, P.H. Jochu, Iz. Menufandu, M.Wai, N. Jouwe, H.Mori Mezendi, P.Koejab, W. Zonggonao, F.Jufuway, A.J.A Rumtoboy, E.Noembery, B. Hebse, Th. Meset, J.E. Bonay, N.Tanggahma, H.I.Bauw, Sp. Malibela, T. Dansidan, W.Giay, Nemnay, A.Sefa, J. Manory, L. Ajamiseba, M.Rumainum, dan 12 nama lainnya tidak terbaca karena dikumennya agak rusak....(Sumber: Alexander L. Griapon, 2007:83-84).
Ada keterwakilan daerah masing-masing: Markus Kaisiepo mewakili Biak; Mohammad Avhmat perwakilan rakyat Radja Ampat; A. Gebze mewakili rakyat Merauke; Tontje Messeth perwakilan rakyat Jayapura, Abdullah Arfan perwakilan rakyat Fak-Fak/Radja Ampat; Baldus Mifu perwakilan rakyat Biak Noemfoor; Penehas memawkili rakyat Teluk Wondama; Bertus Burwos perwakilan rakyat Manokwari,...."
3. 1 MEI 1963
Tanggal 1 Mei 1963 adalah hari MALAPETAKA kedua setelah MALAPETAKA pertama 19 Desember 1961. 1 Mei 1963 awal dari hari PEMUSNAHAN sejarah dan manusia Papua.
BENARLAh, apa yang dikatakan Juri Lina melalui Architects of Deception-Secret History of Freemasonry, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa, yaitu:
Pertama, Kaburkan sejarah bangsa yang dijajah dan diduduki.
Kedua, Hancurkan bukti-bukti sejarah sehingga tidak bisa lagi diselidiki dan dibuktikan kebenarannya.
Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Watak kolonial yang sebenarnya ialah biasa mereka menghancurkan beberapa pilar penting bangsa yang diduduki dan dijajah, yaitu hancurkan pendidikan, hancurkan kebudayaan, hancurkan bahasa, hancurkan ekonomi, hancurkan kesehatan dan hancurkan sejarah dan dokumen-dokumen penting. Para kolonial memang tidak pernah hargai sejarah bangsa yang diduduki dan dijajah. Ini wajah yang dimiliki bangsa kolonial moderen firaun Indonesia.
Pastor Frans Lieshout, OFM memberitahukan kepada kita semua perilaku kejam dan barbar penguasa Indonesia dan TNI membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting tentang Papua.
"Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar." (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Kejahatan kolonial modern Indonesia terhadap orang asli Papua yang paling kejam, biadab, brutal, dan barbar serta primitif ialah membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting yang dimiliki penduduk asli Papua. Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Indonesia disemangati dari rasisme, fasisme dan militerisme. Kekejaman dan kolonialisme primitif ini wajar karena Indonesia adalah pemerintahan berkultur militer.
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: "Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elit Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura" (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
"Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono."
Pastor Frans Leishout,OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant ( Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua.
" Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian."
"Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar." (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Fakta lain ialah pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua" (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
"Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumulan, penyebaran, perdagangan atau artikel, pemeran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden."
Pemerintah Indonesia melarang beberapa buku tentang Papua, sebagai berikut:
1. Pembunuhan Theys Eluay: Kematian HAM di Papua ( Dr. Benny Giay, 2005).
2. Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Socrarez S.Yoman, 2007).
3. Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Sendius Wonda, 2007).
4. Jeritan Bangsa ( Sendius Wonda, 2009).
DR. Veronika Kusumaryati dalam disertadi Program S3-nya dengan judul: Ethnography, of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua" sebagai berikut:
"Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalamam dan militerisme dalam kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. Kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960-an" (2018:25).
4. PEPERA 1969
Pdt. DR. Karel Phil Erari mengatakan:
"Sejarah sedang berbicara, bahwa genderangTrikora, 19 Desember 1961 dari Yogyakarta telah mengukir sebuah tragedi budaya dan kemanusiaan. Proses peralihan Papua dan Belanda melalui PBB dan yang pada akhirnya direkayasa dalam bentuk Pepera 1969 telah menjadi persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM. Rakyat menilainya sebagai manipulasi atas hak-hak dasar rakyat. Para pelaku sejarah mengakui bahwa menghadapi pelaksanaan Pepera, mereka tidak terlibat dalam seluruh proses persiapan pelaksanaan Pepera. Anggota-anggota DPRD-GR, pimpinan Dirk Ajamiseba dibubarkan dan diganti oleh Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang jumlahnya 1.025 anggota...." ( Erari: 2006: 169-170).
Militer Indonesia (ABRI: kini TNI) Menghancurkan Masa Depan Rakyat West Papua Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.
Sintong Panjaitan dalam bukunya:
"Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" dengan jelas mengakui keterlibatan militer dalam memenangkan Pepera 1969, sebagai berikut:
"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial, dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan Pepera hari tahun 1965-1969, maka saya yakin Pepera 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Merdeka. ...Banyak pendukung kelompok Pro-Papua Merdeka yang kami tewaskan dalam kontak senjata. "
Benar apa yang disampaikan Sintong Panjaitan bahwa pada saat Pepera 1969, mayoritas 95% rakyat West Papua memilih merdeka.
"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua."
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia."
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Willem Campschreur menulis kisah Victor Kaisiepo (alm) yang berjudul: "Satu Perspektif untuk Papua Cerita Kehidupan dan Perjuanganku" sebagai berikut:
"Keseluruhan 1025 orang itu hanya ada satu orang, Eduard Hegemur yang berani berbicara. Di dalam rapat di Fakfak ia mengakhiri deklarasinya dengan kata-kata: 'saya tidak dapat mengkhianati saudara saya Saul Hindom, saya tidak dapat mengkhianati saudarsaudara saya Nicolaas Jouwe, saya tidak dapat mengkhianati saudara saya Markus Kaisiepo, saya tidak dapat mengkhianati saudara saya Herman Wayoi dan kawan-kawan lain. Di sini saya tidak meminta kepada orang asing, tetapi kepada Republik Indonesia hak yang kami miliki.' Tidak lama kemudian ia ditangkap dan dianiaya dengan kejam." (Hal. 96).
Prof. DR. Pieter Drooglever dalam penelitiannya mengatakan:
" Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 adalah sebuah kasus yang dimanipulasi" (2010).
Robin Osborn mengungkapkan:
"...bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru yaitu ketika 1025 orang delegasi yang dipilih oleh pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh rakyat Papua Barat. Kini, premis itu DIRAGUKAN KEABSAHANNYA ( baca: ILEGAL) berdasarkan hukum internasional." (Yoman: Otonomi, Pemekaran dan Merdeka-OPM, 2010:98).
DR. George Junus Aditjondro (alm) mengatakan:
"Dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas dipertanyakan kembali" (Yoman: 2010: 98).
DR. Ikrar Nusa Bhakti mengatakan:
"Memang benar tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis itu ada benarnya" ( Yoman:2010: 98).
Pdt DR. Karel Phil Erari mengatakan:
"Rakyat Papua merasa bahwa PEPERA adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum internasional dan pelaksanaannya tidak secara demokratis sesuai dengan kebiasaan dan praktik yang berlaku dalam masyarakat internasional" (2006:22).
Karenanya itu Erari menegaskan:
"Secara hukum, integrasi Papua ke dalam NKRI bermasalah (baca: ILEGAL)" (2006:182).
Piter Sirandan saksi sejarah yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan Pepera 1969, pada awal Desember 2009, setelah membaca buku penulis: "Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (2007), memberikan kesaksian:
"Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964. Saya menyaksian ABRI menembak mati Elly Uyok di Bioskop Rex (sekarang: Kantor Pos Jayapura). Saya ikut angkat mayat itu dan darahnya tampias ke baju saya.
Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang Papua yang mau berkata benar waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka.
Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan Pepera 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan.
Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; ( tujuh juta) dari pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan Pepera 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka."
(Sumber: Yoman, Integrasi Belum Selesai, 2010, hal. 91-92; Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat, 2011, hal. 21; Yoman: Saya Bukan Bangsa Budak, 2012, hal.177).
5. DAERAH OPERASI MILITER (DOM)
Sejak 19 Desember 1961, Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Dalam hal Operasi Militer, Pdt. DR. Phil Karel Erari mengatakan:
"Papua, sejak berintegrasi dengan Indonesia, 1962 hingga hari ini terus diwarnai oleh sejumlah aksi kekerasan bersenjata. Kekerasan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua, pada umumnya bernuansa politik, terutama yang melibatkan satuan aparat keamanan, baik itu polisi maupun militer. Rakyat yang tidak berdosa, yang dicurigai dikejar, diintimidasi, diperkosa dan dibunuh." (2006:26).
"...Rakyat Papua yang telah mengalami suatu ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum, dan karenanya merupakan ketidakadilan kemanusiaan. Di sinilah terletaknya titik simpul yang TERLUKA dari sebuah integrasi" (2006:198).
Ditegaskan lagi: "Sejarah Integrasi Papua dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan" (2006: 167).
Amiruddin al Rahab dalam bukunya: "Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma Dan Separatime" dengan tepat menggambarkan wajah Operasi Militer sebagai berikut:
"Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer. ....ABRI mengintensifkan kekerasan dengan skala yang lebih besar melalui operasi militer dengan menjadi Papua sebagai DOM. Akibatnya, kekerasan terhadap kemanusiaan menjadi lingkaran yang tidak pernah putus di Papua selama puluhan tahun."
"Sejak itu, orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun rakyat jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (2020:22,43).
6. OTONOMI KHUSUS NOMOR 21 TAHUN 2001
Perlu diberikan gambaran latar belakang lahirnya Otsus. Pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan bangsa West Papua dengan cara damai da bermartabat dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri.
a. Delegasi Tim 100
Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.
"....dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi."
Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
b. Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
c. Kongres II Rakyat dan Bangsa Papua Barat, 26 Mei - 4 Juni 2000
Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969.
4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Menjadi jelas dan terang latar belakang lahirnya Otonomi Khusus yaitu rekayasa Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI dengan menghancurkan Orang Asli Papua yang berkeinginan kuat untuk merdeka hampir 95% Pelanggaran berat HAM sebagai kejahatan Negara dan tuntutan rakyat Papua melalui dari Tim 100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1 Desember 19
Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu lahir sebagai alat bargaining/ tawar-menawar atau solusi menang-menang (win win solution) tentang status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia. Otus bukan pemberian cuma-cuma penguasa Indonesia. Ia hadir ketika hampir mayoritas rakyat Papua menuntut Penentuan Nasib Sendiri atau Papua Merdeka.
7. UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA DAN PAPUA BARAT (UP4B)
Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dibuat berdasarkan PP Nomor 65 dan 66 Tahun 2011 untuk menghindari tekanan komunitas internasional karena Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dinilai gagal total.
UP4B dikepalai oleh seorang pensiunan Jenderal TNI Bambang Darmono dan ditugaskan keliling dunia dan juga Darmono ke PBB berbicara tentang upaya pemerintah untuk mengatasi kegagalan Otsus dengan UP4B.
Penguasa Indonesia selalu mengampangkan masalah dan juga mengesamping persoalan pokok dan selalu sibuk dengan kebohongan dan kemunafikan mereka dengan persoalan yang tidak ada relevansinya. Penguasa Indonesia selalu menghindar dan bersembunyi dari masalah pokok, yaitu pelanggaran HAM berat, rasisme, militerisme, ketidakadilan, marginalisasi, genosida penduduk asli Papua yang sudah menjadi LUKA MEMBUSUK dan LUKA BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.
8. OTONOMI KHUSUS JILID II
Otonomi Khusus Jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 sungguh-sungguh menjadi jiwa dan watak serta wujud Rasisme, Fasisme, Militerisme, Kolonialisme, Neo-Kapitalisme, Ketidakadilan, Pelanggaran berat HAM, marginalisasi, genocide secara sistematis, terstruktur, terprogram, terintegrasi, meluas, kolektif dan masif. Artinya, penguasa Indonesia dengan sadar mengabaikan suara rakyat Papua hampir 95% menolak revisi Otsus tanpa partisipasi orang asli Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Penguasa benar-benar menjadi telinga tuli, buta mata dan nurani yang lumpuh.
9. MITOS, STIGMA, dan LABEL
Salah satu ciri khas dan watak bangsa kolonial ialah selalu memproduksi dan memelihara dan mempergunakannya sebagai senjata ampuh untuk melumpuhkan penduduk yang diduduki dan dijajah serta ditindas. Indonesia sebagai salah satu bangsa kolonial modern dalam menjajah dan menduduki rakyat dan bangsa Papua Barat, ia memproduksi mitos, stigma dan label.
Mitos,stigma dan label: separatis, makar, anggota OPM, KKB dan teroris, monyet, gorila dan tikus-tikus, pemabuk, terbelakang, dan lain-lainnya diciptakan sebagai TAMENG atau TOPENG untuk menyembunyikan akar sejarah konflik yang sebenarnya, yaitu: Rasisme, Fasisme, Militerisme, Kolonialisme, Neo-Kapitalisme, Ketidakadilan, Pelanggaran berat HAM, marginalisasi, genocide, sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969.
Ada pulang OMONG KOSONG besar selama ini ialah demi keamanan nasional, kepentingan Negara dan demi NKRI, orang asli Papua harus dibantai seperti hewan dan binatang. Yang sebenarnya demi kepentingan dan keamanan bisnis dan ekonomi para penguasa, para jenderal dan para pengusaha atau pembisnis.
10. PERNYATAAN-PERNYATAAN PARA PENGUASA PEMBOHONG & PEMBUNUH
Mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia benar-benar ditipu dan dibohongi para penguasa. Kebanyakan rakyat Indonesia penyikmat kebohongan dan kejahatan penguasa mereka melalui berbagai kesempatan.
Penguasa Indonesia membangun opini publik dan membangun Papua dengan pernyataan-pernyataan, yaitu: Persoalan Papua sudah final melalui Pepera 1969. Tapi, pertanyaannya, mengapa ada Otsus jilid 1 dan 2? Mengapa ada UP4B?
Lalu penguasa juga selalu mengatakan: Kita harus waspadai internasionalisasi persoalan Papua. Para penguasa sangat kerdil dan bodoh karena persoalan Papua sejak awal sudah ada keterlibatan komunitas internasional, yaitu: PBB, Amerika dan Belanda. Dan Otsus jilid I juga didukung komunitas internasional. Persoalan Papua itu sudah berdimensi internasional karena persoalan kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan martabat manusia yang merupakan nilai-nilai universal.
Parah dan payahnya para penguasa Indonesia karena perilaku aparat keamanan polisi dan tentara melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM berat dengan sendirinya Papua menjadi persoalan global atau masalah dunia internasional. Karena, sekarang tidak ada yang tertutup karena era globalisasi dan teknologi sangat canggih. Media sosial dapat mengakses informasi secara cepat dan tidak ada yang tersembunyi.
11. PENGUASA MEMBINA ORANG ASLI PAPUA SEBAGAI BONEKA, TOPENG ATAU TAMENG KOLONIAL
Ciri khas watak para kolonial ialah membina orang-orang dari rakyat dan penduduk yang dijajah. Mereka itu menjadi informan, kaki tangan, telinga dan mulut serta lidah penguasa kolonial untuk menindas bangsanya sendiri.
Biasanya ada tiga golongan manusia, yaitu: pertama, orang-orang yang punya pendidikan baik dengan tawaran posisi dan jawabatan.
Kedua, orang-orang yang punya pendidikan atau gelar tapi kemampuan rata-rata dan kelompok ini punya potensi rusak sana-sini dan bicara di media dengan bahasa Indonesia yang tidak teratur tanpa mengerti apa yang mereka sampaikan; da
Ketiga, orang-orang bodoh dan dungu yang biasa dikasih uang, rokok 1 batang, nasi bungkus dan kelompok selalu bikin kacau secara fisik dan membuat pernyataan-pernyataan yang sudah disiapkan aparat keamanan TNI, Polisi, BIN dan Kopassus.
12. REMILITERISASI
Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat bahwa dalam era Otonomi Khusus jilid 1 dan juga jilid 2, proses Remiliterisasi di TANAH Papua secara masif hampir merata di dua provinsi Papua dan Papua Barat sebagai provinsi termiskin nomor urut 1 dan 2 di Indonesia. Dalam kemiskinan ini, pos-pos, basis-basis TNI-Polisi dibangun dengan pesat dan gedungnya megah dan mewah. Sementara rumah-rumah penduduk asli rusak dan hancur-hancuran, kesehatan, dan ekonomi porak-poranda. Penduduk diusir dari kampung halaman mereka dengan Operasi Militer dan 6.000 pengunsi masih ada di pengungsian dan belum kembali ke kampung halaman mereka. Di sini ada ironi kehidupan dan tragedi kemanusiaan di atas TANAH leluhur.
13. DOB BONEKA INDONESIA
Pemekaran Provinsi Boneka Indonesia di Tanahnya orang Papua merupakan ide, pikiran, pendapat, dan gagasan dari Hendropriyono dan Tito Karnavian atau lebih tepat pikiran Militer untuk membangun basis-basis militer di seluruh Tanah Papua untuk merampok dan mencuri Sumber Daya Alam di seluruh Tanah Papua dengan siasat manusianya disingkirkan, dimisikinkan, dilumpuhkan dan dibantai dan dimusnahkan secara sistematis, terstruktur, terprogram, masif dan kolektif.
Ide, pikiran, pendapat dan gagasan Hebdropriyono, Tito Karnavian atau ide militer ini didukung dan dilaksanakam oleh beberapa orang dari Papua. Lidah dan mulut beberapa orang asli Papua ini dipinjam dan digunakan oleh penguasa kolonial Indonesia untuk mensukseskan pendudukan dan penjajahan di Papua melalui pembentukan provinsi boneka bangsa kolonial Indonesia yang rasis dan fasis modern yang berkultur militeristik dan barbar.
DOB BONEKA Indonesia dengan tujuan pendudukan militer, transmigrasi/migran, kepentingan untuk perampokan dan pencurian sumber daya alam, dan marginalkan dan pemusnahan atau penghilangan Penduduk Asli Papua dari TANAH leluhur mereka.
Kesimpulan dari tulisan pendek ini menjadi jelas dan terang bahwa Papua bukan bagian dari wilayah Indonesia karena tidak ada legitimasi rakyat dan bangsa Papua. Karena itu, rakyat dan bangsa Papua berhak menggugat Indonesia dan berhak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.
Generasi muda Papua yang terdidik menyatakan: KAMI BUKAN BANGSA INDONESIA. KAMI BANGSA PAPUA RAS DAN RUMPUN MELANESIA."
Sumber:Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Selamat membaca.
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 21 Januari 2023
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Nomor HP/WA: 08128888712; 08124888458.